kemarau menjelang usai
langit masih cerah
meski awan hitam sudah di sana sini.
burung pipit berbondong bondong
silih berganti menggasak padi
tak takut lagi tali dan boneka sawah
meski di getar petani sekuat tenaga
tak perduli petani itu bersusah payah
“we lah dasar manuk, hussah hussah
husahh”
terengah-engah ia menghardik
“Assalamualaikum pak”, sapa kami
“Waalaikumsalam”,
lirih nyaris tak terdengar ia
lanjutkan “warahmarullahi wabarakatuh”
“amin ya rabb, sedang apa pak “
“jaga sawah nak, burung burung itu
bisa mengurangi panenku”
“hmmm biarkan saja pak, nanti ditukar
sama gusti Allah”
“amin, sedang apa disini”
“kami sedang lihat kali, apakah
disini sering banjir lahar pak?”
“ya leres, tanggul tua itu sering
jebol dan lahar sampai kerumah bapak”
“waduh, ya ya karena dasar kali lebih
tinggi dari tanah disini”
“apakah bapak asli sini pak?”
“gih nak, kulo waleh waleh gih wonten
mriki”
waduh, aku tidak paham istilah itu,
karena aku setengah sumatra.
“apa itu mas?’ kepada temanku
“lahir, hidup dan mati disini”
“ohh bapak asli sini”
hmm the right person so far
kami tanya apa saja tentang banjir
lahar di desa ini
kami peroleh cerita yang selama ini tersembunyi
kami dengar mistik ada juga di sinii
selayaknya cerita orang desa
dimana saja., sama
matahari sudah diatas kepala
teriknya membakar
pertanda dzuhur
‘monngo kalau mau sholat di rumah
bapak, seadanya”
“alhamdulilah, baik pak, terima kasih’
kami kerumahnya,
halamannya luas,
penuh pohon rindang
sawo dan mlinjo
terlihat anak anak perempuan
mengemasi mainnannya
karena waktu sholat sudah tiba
“main apa, sayang?’ sapaku
‘’main karet” kata yang paling besar
malu-malu
“ kamu kok ngak sekolah”
“masuk siang pak”
“oo gitu, belajar rajin supaya pintar”
“aminn” bersama-sama lantunkan berdoa
“alhamdullilah”
kami sholat di mushola kecil,
rumahnya sangat sederhana,
tentram menyejukan hati
kitab kitab kuning
yang tidak asing bagiku
tertata apik di meja tua
di sudut kanan ruang tamu
pastilah ia pemuka agama
stidaknya pak kyai disini
tidak seperti rumahku
di komplek perwira tentara
panas, keras, tergesa-gesa
membuatku gerah
suka kluyuran
di jalan
di luar sana
akhirnya ibuku
mengirimku ke pesantren
milik temannya
dulu waktu kecil
agar jinak
tidak liar
tidak bergajulan
iwaku berontak
untuk apa?
kami disuguhi kopi
sedikit gula
yang mungkin
tak cukup
buat kami berlima
dan jagung rebus
sedikit tua
mungkin yang muda
sudah habis
kurasakan nikmatnya
seperti pesan ibuku,
nikmati saja hidupmu
dimanapun kamu berada
“kami mohon pamit Pak”
“ kami masih harus ke muara ”
“muaranya satu atau dua kilo dari
sinii”
“terima kasih bapak menerima kami”
‘ hanya sekedarnya nak, seringlah mampir”
“insya Allah, jaga kesehatan pak
biarkan saja burung-burung itu makan padi pak
rezeki bapak tidak akan habis dimakan burng burung”
ia terperanggah mendengar kata-kata
ku
dan memeluku erat-erat
teman temanku heran
kenapa ia memeluku
“kamu ngaji dimana nak dan siapa
gurumu”
“saya ngak tamat pak, sekedarnya
saja, pak kyai….”
“baiklah, hati hati dijalan” katanya
lembut
“saya mohon doanya pak”
“kau anak yang baik nalk, doa
bersamamu”
“amin”
ku salami semua, kakaknya,istrinya
dan anaknya
“ayo salim sama pak lik” ia menyuruh anak itu
“siapa namamu sayang”
“……………” katanya malu-malu
“nama yang bagus, mau jadi apa besok
kalau besar?”
“pamong projo mawon gih” rekanku
nyeletuk
“amin” kuambil sedikit uang
dikantongku hendak kuberikan
“sudah, sudahlah nak, jangan, maturnuwun
sanget”, ibunya menolak keras
“tidak apa apa bu, sekedar buat
jajan”
tetap saja ibu itu berkeras
menolaknya
“baiklah, kami pamit, assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
sesering inspeksi ke kali itu
sesering itu pula berkunjung ke pak kyai
lima ramahan berlalu
segunung kata diperbincangkan
seluas samudra penuh harapan
sepanjang usia mungkin duka derita
diujikan
dan tak terhingga doa dilantunkan
meskipun mungkin kita tak pernah
dipertemukan lagi
setiap insan berjalan sendiri
mengukir takdir
semoga semuanya baik
terjaga dijalan yang benar
amin ya Rabb
dusun yang sunyi 1987
sengaja semua nama
tidak kukatakan
agar terjaga
dari kata kataku
yang banyak salah